MEREDAM DAMPAK KEMEROSOTAN EKONOMI GLOBAL

June 24, 2008 at 9:45 am 1 comment

Oleh :Faisal Basri

Hingga semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan dampak yang berarti. Namun, setelah semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia “babak belur” karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya, barulah kian disadari bahwa krisis keuangan kali ini sangat dalam. Bahkan sementara kalangan menilai krisis keuangan dewasa ini adalah yang terburuk sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian Amerika Serikat, tercermin dari munutes meeting Federal Reserve pada 18 Maret 2008: “ … Fed policy makers felt falling home prices and financial-market turmoil could lead to a more severe and protracted downturn in activity than currently anticipated.”(The Wall Street Journal, 9 April 2008).

Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian Amerika Serikat telah memasuki resesi. Pada triwulan pertama 2008. perekonomian Amerika Serikat sudah hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Maka, tak ayal, proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun yang lalu, perekonomian Amerika Serikat tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen. Namun pada April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen.

Mengingat sumbangan Amerika Serikat di dalam perekonomian dunia masih sangat dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negara adidaya ini akan berimbas pada perekonomian dunia. Pada Januari lalu, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2008 dari 4,8 persen menjadi 4,1 persen. Pada bulan April ini IMF kembali mengoreksi dengan cukup tajam menjadi hanya 3,7 persen.

Boleh dikatakan tak ada satu negara pun yang tak mengalami koreksi ke bawah dalam hal pertumbuhan ekonomi. Negara-negara maju lainnya (Kawasan Eropa dan Jepang) juga mengalami koreksi pertumbuhan cukup tajam. Tak terkecuali China, yang kinerja perekonomiannya paling perkasa dalam satu dekade terakhir. Tiga bulan lalu, proyeksi pertumbuhan ekonomi China masih 10,0 persen. Namun per April ini direvisi menjadi 9,3 persen.

Apakah Indonesia cukup tangguh untuk melawan arus global yang sedang menunjukkan kemerosotan pertumbuhan? Pemerintah dan DPR memang telah menurunkan target pertumbuhan ekonomi 2008 dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Sekalipun demikian, angka pertumbuhan yang telah dikoreksi ini tetap saja lebih tinggi daripada tahun lalu sebesar 6,3 persen.

Artinya, pemerintah dan DPR masih berharap perekonomian Indonesia tahun 2008 akan lebih ekspansif ketimbang tahun lalu. IMF sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 6,1 persen. Sementara itu, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), di dalam publikasi mereka yang dikeluarkan pada bulan ini juga, sama-sama mematok sebesar 6,0 persen.

Pertanda kinerja perekonomian Indonesia melemah sudah mulai terlihat. Pada triwulan terakhir 2007 pertumbuhan ekonomi year-on-year turun menjadi 6,3 persen dari 6,5 persen pada triwulan sebelumnya. Yang paling menunjukkan kemerosotan ialah sektor eksternal.

Ekspor barang dan jasa selama beberapa tahun terakhir merupakan penyumbang kedua terbesar bagi pertumbuhan ekonomi setelah konsumsi privat. Pertumbuhan riil ekspor barang dan jasa selama 2004-2005 naik rata-rata 15 persen. Namun, selama dua tahun terakhir turun tajam, masing-masing 9,4 persen pada tahun 2006 dan 8,0 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, impor barang dan jasa pada tahun 2007 naik, sehingga surplus perdagangan barang dan jasa (current account) menyusut. Jika pada tahun 2006-2007, surplus current account terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar rata-rata 2,6 persen, maka pada tahun 2008 diperkirakan turun menjadi 1,7 persen dan 0,9 persen pada tahun 2009.

Sementara itu, pertumbuhan nilai (nominal) ekspor barang Indonesia pun sudah menunjukkan penurunan, dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 13,1 persen pada tahun 2007. Kecenderungan yang sama terjadi pada ekspor nonmigas, yakni turun dari 19,2 persen pada tahun 2006 mnjadi 15,3 persen pada tahuhn 2007. Kenaikan harga-harga komoditas primer sangat membantu kinerja ekspor nilai Indonesia sehingga masih bisa tumbuh dua digit.

Namun, jika kita keluarkan faktor kenaikan harga, secara riil berdasarkan volume, pertumbuhan ekspor 2007 hanya 7,6 persen. Angka ini merosot bila dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 13,4 persen dan tahun 2006 sebesar 10,7 persen. Sekalipun demikian, kinerja ekspor Indonesia tahun 2007 masih sedikit lebih baik ketimbang pertumbuhan perdagangan dunia sebesar 6,8 persen.

Dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, maka volume perdagangan dunia pun niscaya akan melemah. Tahun ini pertumbuhan perdagangan dunia diproyeksikan turun menjadi 5,6 persen, dari 9,2 persen tahun 2006 dan 6,8 persen tahun 2007. Akibatnya, pertumbuhan nilai maupun volume ekspor Indonesia pun diperkirakan kembali terpangkas.

Dihadapkan pada perkembangan pasar keuangan dunia yang masih terus bergejolak, sehingga kita tak boleh lebih mengandalkan pada arus masuk investasi portofolio, maka pengamanan ekspor menjadi sangat vital.

Kita patut bersyukur bahwa selama dua bulan terakhir (Januari-Februari) 2008, pertumbuhan nilai ekspor total migas dan nonmigas) cukup menggembirakan, yakni 31 persen. Peningkatan tajam ini memang masih lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga minyak dan komoditas primer lainnya. Ekspor migas naik 54 persen dan ekspor nonmigas 26 persen. Penyumbang terbesar dari komoditas primer nonmigas ialah minyak sawit dan karet, juga lebih disebabkan oleh kenaikan harga daripada volume.

Tak kalah penting ialah kemampuan kita mendiversifikasikan tujuan ekspor. Jepang dan Amerika Serikat memang masih tetap sebagai tujuan ekspor utama Indonesia, namun dengan kecenderungan menurun. Bahkan pangsa pasar ekspor nonmigas ke Amerika Serikat telah mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Kedua negara ini adalah yang paling mengalami kemersotan pertumbuhan.

Sebaliknya, kita mampu meningkatkan pangsa ekspor nonmigas ke negara-negara yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Ekspor ke China telah mencapai 7 persen dari keseluruhan ekspor nonmigas. Padahal pada tahun 2000 masih sekitar 3 persen saja. Serupa halnya dengan India, yang hanya dalam 7 tahun terakhir telah meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 persen menjadi 4 persen dari ekspor nonmigas total. Pada tahun 2007, India dan China merupakan penyumbang terbesar bagi peningkatan ekspor nonmigas Indonesia.

Jika kita mampu menjaga perkembangan ekspor yang sudah cukup baik ini, serta mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan “membabibuta” barang-barang impor, niscaya sektor eksternal kita akan bertambah kuat. Sehingga, titik berat perhatian bisa lebih kita curahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan yang cenderung centang perentang, sebagaimana ditunjukkan oleh kesenjangan luar biasa antara pertumbuhan sektor-sektor jasa modern di kota-kota besar dengan pertumbuhan sektor pertanian dan industri manufaktur yang kian merana. Jangan sebaliknya, kita mengandalkan pada sektor finansial yang nyata-nyata terbukti sangat artifisial dan rentan terhadap gejolak eksternal.

Sumber :http://faisalbasri.blogs.friendster.com/faisalbasri/2008/04/meredam_dampak_.html

Entry filed under: Kliping.

Potensi Zakat Indonesia Rp9 Triliun Review buku : Orang kaya di negeri miskin

1 Comment Add your own

  • 1. M. Mufid  |  July 13, 2008 at 11:29 am

    saya lagi cari tentang ekonomi global secara umum, bisakah Saudara membantu kami untuk bahan presentasi. tolong kirim saja ke emai : m03f1d@yahoo.com

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Categories